“Menolak Uang Politik Jelang Pilkada Serentak 2024”

Jimmy Levin

Universitas Lancang Kuning, Riau

Pilkada serentak 2024 sudah dimulai. Bahkan sudah masuk tahap penetapan, pencabutan nomor urut paslon, dan masa kampanye hingga pencoblosan pada 27 November mendatang.

Harapan di Pilkada serentak di Bumi Lancang ini, tentunya Bisa menuju Riau yang adil, jujur dan bersih. Momen Pilkada tidak terlepas dari politik uang. Bahkan strategi politik uang ini tidak menjadi rahasia umum lagi, bahkan sudah menjadi perbincangan sebagai masalah krusial dalam setiap Pilkada atau pun Pemilu di Indonesia.

Hal ini menggugah untuk menutupi secara mendalam, atas masa depan demokrasi, dan memunculkan intimidasi atas integritas sistem politik kita. Meski menghilangkan sepenuhnya praktik ini menjadi tugas yang sangat sulit, namun langkah-langkah penanggulangan politik uang, harus menjadi prioritas utama dalam persiapan Pemilu yang digelar serentak tahun 2024.

Setiap Pilkada selalu terjadi serangan fajar, dengan menghadirkan segala bentuk, yang mempengaruhi pemilih dengan pilihannya dalam mencoblos.

Praktik tersebut seringkali disebut sebagai “klientelisme elektoral” sebagai pendistribusian materi ketidakseimbangan kepada pemilih pada saat pemilu saja. Ada 3 bentuk politik uang yakni, uang (fresh money), sembako, dan barang rumah tangga.

Ada tiga faktor penyebab terjadinya politik uang, selain faktor ekonomi. Faktor pertama politik. Politik uang terjadi karena calon (legislatif/kepala daerah) hanya ingin menang. Tapi tidak memiliki program, sedangkan partai politik sebatas membantu pencalonan saja.

Selanjutnya faktor hukum. Lemahnya regulasi tentang politik uang, hanya pemberi politik uang yang disanksi. Padahal penerima juga ikut bersalah. Kemudian faktor budaya. Ada kebiasaan yang sudah membudaya di Indonesia, yakni tidak pantas jika menolak pemberian dan terbiasa membalas pemberian. Instrumen kultural ini dimanfaatkan oleh politisi untuk menjalankan politik uang.

Penyebab politik uang masih terus terjadi, karena 50 persen masyarakat Indonesia belum sejahtera, dan lebih dari 50 persen tingkat pendidikannya belum baik. Kondisi kesejahteraan masyarakat yang masih rendah dapat menyebabkan banyaknya masyarakat yang menerima uang politik, karena dianggap sebagai rezeki. Padahal, uang yang disebarkan dalam serangan fajar bisa saja menghasilkan korupsi.

Hal ini sebenarnya menciptakan semacam pengimbang kekuatan, yang menunjukkan bahwa semua pihak yang terlibat dalam pemilihan harus bertanggung jawab atas tindakan mereka. Selain itu, pemilih pun tidak terkecuali.

Mereka juga dapat dikenakan sanksi jika terlibat dalam tindakan yang melanggar aturan. Seperti pemalsuan atau referensi hak pilih. Ini adalah langkah penting dalam menciptakan pemilihan yang adil dan berkualitas.

Salah satu strategi utama mencegah terjadinya korupsi, termasuk politik uang adalah memberikan hukuman untuk memberi efek jera. Dua pasal yang bisa menjerat pelaku politik uang, UU No 7 tahun 2017 pasal 515 “Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih, agar tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta Pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)”.

Pasal 523 (1) “setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye Pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta Kampanye Pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah)”.

(2) “Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja pada Masa Tenang menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau materi lainnya kepada pemilih secara langsung atau tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 278 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 ( empat) tahun dan denda paling banyak Rp 48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah)”.

(3) “setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih, untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta Pemilu tertentu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.36 .000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)”. ***

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *